Selasa, 28 April 2009

Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU

Oleh M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi*

Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan juta
massa, Nahdlatul Ulama (NU) nyaris selalu terlibat dalam setiap
pergulatan politik. Dengan basis massa yang begitu besar, NU memang
menggiurkan sebagai alat legitimasi politik, terlebih politik agama.
Sejak kelahirannya pada 1926, warna politik sudah kental melekat pada
NU. Tetapi sebagai ormas keagamaan tradisional, kiprah politik NU tak
lepas dari nilai- nilai dan norma-norma Islam yang secara baku
dirumuskan dalam fiqh, termasuk untuk masalah-masalah politik dan
kenegaraan. Tak heran jika kemudian muncul terminologi figh siyasah
atau fiqh politik yang mendasari setiap keputusan politik NU.

Sayang, disiplin fiqh siyasah itu belum memperoleh perhatian serius.
Di pusat-pusat studi Islam, Timur Tengah maupun Barat, literatur fiqh
siyasah terhitung langka. Apalagi di Indonesia. Bahkan dari kalangan
intelektual muslim pribumi, baru beberapa gelintir orang yang
menunjukkan minat dan mau menulis mengenai hal itu. Misalnya Munawir
Syadzali dengan bukunya Islam dan Tata Negara, A. Syafi'i Maarif yang
membukukan disertasinya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan dan M. Ali Haidar yang menulis NU dan Islam di Indonesia.

LATAR BELAKANG
Kurangnya minat terhadap kajian fiqh siyasah, barangkali di
latarbelakangi kecenderungan para pemikir Islam masa lalu yang lebih
menekankan bahasan-bahasan fiqh pada aspek ibadah secara rinci. Bahkan
bahasan tentang aspek muamalah pun tak cukup lengkap, sehingga aspek
siyasah praktis terabaikan.

Penekanan berlebihan pada aspek ibadah, seperti diungkapkan
Abdurrahman Wahid, merupakan pengaruh dari tasauf yang berkembang
setelah munculnya huru-hara politik yang menorehkan pengalaman
traumatik. Konflik kekuasaan menyusul habisnya era al khulafa ar
rasyidin, telah melahirakan instabilitas politik di panggung para
umara yang berebut naik ke puncak kekuasaan, sekaligus instabilitas
teologi di pentas para ulama yang memunculkan beragama aliran aqidah
dari yang lurus hingga yang sesat. Pengalaman pahit ini mendorong para
tokoh Islam untuk mengembangkan kehidupan sufistik yang mengacu pada
upaya pencapaian taraf spiritual tertinggi, misalnya melalui tarekat.

Di satu sisi, orientasi sufistik itu berdampak positif pada
peningkatan kesalehan individual. Tetapi di sisi lain, muncul dampak
negatif, yakni menurunnya kepeduliaan pada persoalan- persoalan
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi kehidupan umat.
Dan fiqh pun terkena imbasnya. Padahal, seperti di katakan Sidney
Jones, pandangan hidup dan tradisi pemikiran umat Islam cenderung fiqh
sentris. Mereka mengkaji segala persoalan, termasuk
persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kacamata
fiqh seperti yang dilakukan para kiai NU melalui forum bahtsul masail.

Tentu saja tidak gampang memahami, apalagi mengimplementasikan,
persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan fiqh. Tetapi untunglah
bahwa para ulama cukup piawi dalam mensiasati kaidah-kaidahnya,
sehingga pendekatan fiqh mampu mengakomodasikan pelbagai persoalan,
termasuk masalah politik dan kenegaraaan.

KECENDERUNGAN AKOMODATIF
Cukup banyak contoh yang dapat dikedepankan dalam kaitannya dengan
ciri legal formal fiqh yang diimplementasikan secara akomodatif dalam
persoalan siyasah itu. Kebanyakan memang diambil dari hasil kajian
para kiai NU yang pada masa lalu sangat intensif terlibat dalam
pergulatan politik.

Salah satu contoh ialah implikasi penerapan norma-norma fiqh dalam
pandangan kenegaraan yang dianut mayoritas umat Islam. Mereka
memandang bahwa kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara, merupakan
hal yang tak bisa ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya
ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup,
terlepas dari perilaku penguasa dalam kapasitas pribadinya. Kesalahan
tindakan atau keputusan pemerintah, tidak mengharuskan adanya
perubahan sistem. Konsekuensinya ialah keabsahan negara begitu ia
berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan terhadap pemecahan
alternatif yang memaksakan perubahan secara radikal.

Dengan demikian, perbaikan sistem mesti dilakukan secara gradual guna
menghindari anarki. Kaidah populer yang digunakan para ulama sunni
dalam hal ini adAlah sulthonun zholum khoirun min fitnatin tadum, yang
berarti sistem kekuasaan yang mapan dan menjamin stabilitas lebih baik
ketimbang kondisi anarki yang berkepanjangan. Itu pula yang mendasari
keluarnya fatwa jihad oleh Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari menjelang
pecahnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam kasus semacam
ini, kewajiban bela negara harus diberlakukan meski keadaan negara
masih jauh dari kondisi ideal.

Contoh yang lain ialah penetapan status kenegaraan Indonesia dalam
konteks persoalan syariat Islam. Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin,
muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan
Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa
sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah
menurut syariat Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan
Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status
Darul Islam.

Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris dan
disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak
diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun.
Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca kemerdekaan.
Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadlramaut Syekh Muhammad Sholih Ar
Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status
Darul Islam tetapi melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada
kaidah al ashlu baqa'u ma kana ala ma kana, yang berarti selama tak
ada perubahan mendasar maka status yang berlaku sebelumnya tetap
dipertahankan.

Maka, Muktamar NU pun menetapkannya. Cuma saja, untuk menghargai
bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU
memutuskan mengubah istilah Darul Islam yang bermakna negara Islam
menjadi Darul Salam yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu,
maka perasaan terancam dari agama lain dpat dihindarkan. Karena itu,
NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.

Sesungguhnya masih banyak contoh lainnya yang relevan dalam perspektif
kekinian, yang kesemuanya menunjukkan bahwa dengan menggunakan fiqh
siyasah sebagai landasan politik, NU dapat mengembangkan peran
politiknya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa
harus mengorbankan prinsip. Sebab, kebenaran, keadilan dan demokrasi
yang menjadi konsern NU memang sulit diperjuangkan secara radikal, dan
karena itu perbaikan sistem dengan pendekatan fiqh selalu diupayakan
secara gradual.

Memang, dengan cara seperti itu muncul kesan yang kuat bahwa sikap dan
budaya politik NU cenderung oportunistik. Hal itu sering dijadikan
kambing hitam terhadap inkonsistensi perjuangan Islam di Indonesia dan
penyebab utama munculnya perbedaan strategi perjuangan yang dianut NU
dan kelompok Islam lain di Indonesia. Padahal, itu tidak sepenuhnya
tepat. Karena yang menjadi pedoman bagi NU bukanlah strategi
perjuangan politik atau pandangan ideologi politik, tetapi keabsahan
di mata fiqh.

Pedomana ini menjadi tolok ukur bagi seluruh kegiatan kenegaraan, baik
oleh masyarakat maupun pemerintah. Itu sebabnya diberlakukan kaidah
tasharruf al imam ala ar raiyyah manuthun bi al mashlahah (kebijakan
dan tindakan pemegang kekuasaan terhadap rakyat, harus berorientasi
pada kebaikan bersama).

Dari sini, nampak --sebagaimana diutarakan Munawir Syadzali- - bahwa
para teoritisi politik Islam sama sekali tak mencari pola idealisasi
bentuk kenegaraan yang Islami, melainkan justru menekankan penggunaan
bentuk yang sudah ada. Ibnu Khaldun, Abu Ya'la dan Al Mawardi, jelas
menempuh upaya perbaikan keadaan negara secara gradual dengan mencoba
mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempurankan sistem yang ada
menuju welfare state yang mereka istilahkan dengan baldatun
thoyyibatun wa robbun ghofur.

Kiranya, perubahan secara gradual menuju kesempurnaan itulah yang
harus dilakukan oleh NU. Tanpa upaya itu, maka perjuangan yang selama
ini didengungkan atas nama Islam tak akan banyak berarti. Justru yang
timbul adalah kesan NU sebagai penjaga status quo dan terkooptasi oleh
sistem yang ada, seperti terjadi pada sebagian ormas Islam yang lain.
Memang itu bukan hal yang mudah. Perlu adanya pengembangan visi serta
perluasan wawasan, sehingga apa yang diperjuangkan menjadi jelas dan
terarah.

* M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi, aktivis Forum Santri Indonesia
(FSI) dan pengajar di Pesantren Tebuireng Jombang.

0 komentar: