Minggu, 24 Mei 2009

Ikhwanul Muslimin Gerkan Pembaharu politik Islam

Ikhwanul Muslimin (Arab:الاخوان المسلمون al-ikhwān al-muslimūn) sering hanya disebut (Arab الإخوان Al-Ikhwan) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik [1]. Dikemudian hari, gerakan Ikhwanul Muslimin tersebar ke seluruh dunia [2],Sejarah

[sunting] Masa-masa awal

Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930[3]. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.

[sunting] Perkembangan 1930-1948

Kemudian pada tahun 1934, Ikhwanul Muslimin membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin.[4] Walaupun begitu, pada tahun 1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan 100 orang, hasil seleksi dari Hassan al-Banna[5]. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut serta dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948. Berita penculikan Naqrasyi di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin membuat semua orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin.

[sunting] 1950-1970

Secara misterius, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada 12 Februari 1949. Kemudian, tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa an-Nuhas Pasha. Parlemen Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak sah dan inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan al-Hudhaibi. Kemudian, tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Tapi, Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh pemerintah.

[sunting] 1970-sekarang

Ketika Anwar Sadat mulai berkuasa, anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan Hudhaibi yang telah meninggal pada tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi Ikhwanul Muslimin. Umar Tilmisani menempuh jalan moderat dengan tidak bermusuhan dengan penguasa. Rezim Hosni Mubarak saat ini juga menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin menduduki posisi sebagai oposisi di Parlemen Mesir.

[sunting] Pemikiran

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaah yang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh, bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual saja. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam[6]pro-Barat.

[sunting] Kredo

Ikhwanul Muslimin memiliki kredo berupa:

1. Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna)
2. Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna)
3. Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran dusturuna)
4. Jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna)
5. Mati syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina)

Walaupun begitu, Ikhwanul Muslimin tetap mengikuti perkembangan teknologi dan tidak meninggalkannya. Sebagai organisasi Islam moderat, Ikhwanul Muslimin diterima oleh segala lapisan dan pergerakan. Ikhwanul Muslimin menekankan adaptasi Islam terhadap era globalisasi, bukan berarti umat Islam turut terseret dalam era globalisasi. Pemikiran dan pergerakan Ikhwanul Muslimin mencakup delapan aspek, yaitu Dakwah salafiyah (dakwah salaf), Thariqah sunniyah (jalan sunnah), Hakikat shufiyah (hakikat sufi), Hai'ah siyasiyah (lembaga politik), Jama'ah riyadhiyah (kelompok olahraga), Rabithah 'ilmiyah tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan), Syirkah iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan Fikrah ijtima'iyah (pemikiran sosial) [7].

[sunting] Pimpinan

Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Sekretaris Jenderal. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Berikut ini adalah daftar Mursyid 'Am yang pernah memimpin Ikhwanul Muslimin:

* Hassan al-Banna [8] (حسن البنا) (1928 - 1949)
* Hassan al-Hudhaibi [9] (حسن الهضيبي) (1949 - 1972)
* Umar at-Tilmisani [10] (عمر التلمساني) (1972 - 1986)
* Muhammad Hamid Abu Nasr [11] (محمد حامد أبو النصر) (1986 - 1996)
* Mustafa Masyhur [12] (مصطفى مشهور) (1996 - 2002)
* Ma'mun al-Hudhaibi [13] (مأمون الهضيبي) (2002 - 2004)
* Muhammad Mahdi 'Akif (محمد المهدى عاكف) ( - 2004 -

baca lanjut......

Ikhwanul Muslimin Gerkan Pembaharu politik Islam

Ikhwanul Muslimin (Arab:الاخوان المسلمون al-ikhwān al-muslimūn) sering hanya disebut (Arab الإخوان Al-Ikhwan) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik [1]. Dikemudian hari, gerakan Ikhwanul Muslimin tersebar ke seluruh dunia [2],Sejarah

[sunting] Masa-masa awal

Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930[3]. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.

[sunting] Perkembangan 1930-1948

Kemudian pada tahun 1934, Ikhwanul Muslimin membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin.[4] Walaupun begitu, pada tahun 1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan 100 orang, hasil seleksi dari Hassan al-Banna[5]. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut serta dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948. Berita penculikan Naqrasyi di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin membuat semua orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin.

[sunting] 1950-1970

Secara misterius, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada 12 Februari 1949. Kemudian, tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa an-Nuhas Pasha. Parlemen Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak sah dan inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan al-Hudhaibi. Kemudian, tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Tapi, Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh pemerintah.

[sunting] 1970-sekarang

Ketika Anwar Sadat mulai berkuasa, anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan Hudhaibi yang telah meninggal pada tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi Ikhwanul Muslimin. Umar Tilmisani menempuh jalan moderat dengan tidak bermusuhan dengan penguasa. Rezim Hosni Mubarak saat ini juga menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin menduduki posisi sebagai oposisi di Parlemen Mesir.

[sunting] Pemikiran

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaah yang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh, bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual saja. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam[6]pro-Barat.

[sunting] Kredo

Ikhwanul Muslimin memiliki kredo berupa:

1. Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna)
2. Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna)
3. Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran dusturuna)
4. Jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna)
5. Mati syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina)

Walaupun begitu, Ikhwanul Muslimin tetap mengikuti perkembangan teknologi dan tidak meninggalkannya. Sebagai organisasi Islam moderat, Ikhwanul Muslimin diterima oleh segala lapisan dan pergerakan. Ikhwanul Muslimin menekankan adaptasi Islam terhadap era globalisasi, bukan berarti umat Islam turut terseret dalam era globalisasi. Pemikiran dan pergerakan Ikhwanul Muslimin mencakup delapan aspek, yaitu Dakwah salafiyah (dakwah salaf), Thariqah sunniyah (jalan sunnah), Hakikat shufiyah (hakikat sufi), Hai'ah siyasiyah (lembaga politik), Jama'ah riyadhiyah (kelompok olahraga), Rabithah 'ilmiyah tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan), Syirkah iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan Fikrah ijtima'iyah (pemikiran sosial) [7].

[sunting] Pimpinan

Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Sekretaris Jenderal. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Berikut ini adalah daftar Mursyid 'Am yang pernah memimpin Ikhwanul Muslimin:

* Hassan al-Banna [8] (حسن البنا) (1928 - 1949)
* Hassan al-Hudhaibi [9] (حسن الهضيبي) (1949 - 1972)
* Umar at-Tilmisani [10] (عمر التلمساني) (1972 - 1986)
* Muhammad Hamid Abu Nasr [11] (محمد حامد أبو النصر) (1986 - 1996)
* Mustafa Masyhur [12] (مصطفى مشهور) (1996 - 2002)
* Ma'mun al-Hudhaibi [13] (مأمون الهضيبي) (2002 - 2004)
* Muhammad Mahdi 'Akif (محمد المهدى عاكف) ( - 2004 -

baca lanjut......

Paham Neoliberalisme

Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. [1] Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas [2] merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.
Sekilas tentang pandangan kaum libertarian
Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas.

Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya.

Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan poteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi.


Bagi kaum liberal, pada awalnya kapitalisme dianggap menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan seluruh capaian yg telah berhasil diraih. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas.

Bagi John Locke, filsuf abad 18, kaum liberal ini adalah orang-orang yg memiliki hak untuk 'hidup, merdeka, dan sejahtera'. Orang-rang yang bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, termasuk dalam kebebasan untuk 'hancur', bebas hidup tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.

Kapitalisme membanggakan kebebasan seperti ini sebagai hakikat dari penciptaannya. dan dalam perjalanannya, kapitalisme selalu menyesuaikan dan menjaga kebebasan tersebut. Misalnya masalah upah pekerja, menurut konsepsi kapitalis, semua keputusan pemerintah atau tuntutan publik adalah tidak relevan.

Kemudian paham yang terbentuk bagi kaum liberal adalah kebebasan, berarti: ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yg akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Apakah anda bernilai bagi orang lain, ataukah orang lain akan dengan senang hati memberi sesuatu kepada anda. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tsb dengan memperkecil turut campur nya aturan pihak lain. "kita berhak menjalankan kehidupan sendiri"

Saat ini, ekonom seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kembali mengulangi argumentasi klasik Adam Smith dan JS Milton, menyatakan bahwa: masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yg bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.

[sunting] Kekalahan liberalisme

Sejak masa kehancuran Wall Street (dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depression) hingga awal 1970-an, wacana negeri industri maju masih 'dikuasai' wacana politik sosial demokrat dengan argumen kesejahteraan.

Kaum elit politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial lainnya.

Dalam sebuah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada 1944, setelah Perang Dunia II. Konferensi yang dikenal sebagai konferensi Bretton Woods ini bertujuan mencari solusi untuk mencegah terulangnya depresi ekonomi di masa sesudah perang. Negara-negara anggota PBB lebih condong pada konsep negara kesejahteraan sebagaimana digagas oleh John Maynard Keynes. Dalam konsep negara kesejahteraan, peranan negara dalam bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.

Pada kondisi dan suasana seperti ini, tulisan Hayek pada tahun 1944, The Road Of Serdom, yg menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan dinilai janggal. Tulisan Hayek ini menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberal, kekalahan kebebasan individualisme.

[sunting] Kebangkitan Neoliberalisme

Perubahan kemudian terjadi seiring krisis minyak dunia tahun 1973, akibat reaksi terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur, dimana mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya, serta melipatgandakan harga minyak dunia, yang kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana dominan, tidak hanya di tingkat nasional dalam negeri tapi juga di tingkat global di IMF dan World Bank.

Pada 1975, di Amerika Serikat, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul "Anarchy, State, and Utopia", yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah "Reaganomics".

Di Inggris, Keith Joseph menjadi arsitek "Thatcherisme". Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran Locke, sedangkan Thatcherisme mengaitkan dengan pemikiran liberal klasik Mill dan Smith. Walaupun sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme".

Paham ekonomi neoliberal ini yang kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.

[sunting] Neoliberalisme

Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan.

Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.

Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan.

Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.

Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.

Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.

Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional.

Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.

Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO, akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme

Penyebaran Neoliberalisme

Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.

Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

[sunting] di Indonesia

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.

[sunting] di Amerika Serikat

Dalam penggunaan di Amerika Serikat, istilah neoliberalisme dihubungkan dengan dukungan untuk perdagangan bebas dan welfare reform, tapi tidak dengan tentangan terhadap Keynesianism atau environmentalism. Dalam konteks AS, misalnya, ekonom Brad DeLong adalah seorang neoliberal, walaupun ia mendukung Keynesi, income redistribution, dan pengritik pemerintahan George W. Bush. Dalam penggunaan AS, neoliberalisme ("liberalisme baru") biasanya dihubungkan dengan the Third Way, atau sosial-demokrasi di bawah gerakan New Public Management. Pendukung versi AS menganggap bahwa posisi mereka adalah pragmatis, berfokus pada apa yang dapat berhasil dan melebihi debat antara kiri dan kanan, walaupun liberalisme baru mirip dengan kebijakan ekonomi center-of-left (seperti halnya di Kanada di abad ke-20).

Kedua penggunaan ini dapat menimbulkan kebingungan. The overlapping of these usages can create considerable confusion. Dalam penggunaan internasional, presiden Ronald Reagan dan United States Republican Party dipandang sebagai pendukung neoliberalisme. Tapi Reagan tidak pernah digambarkan demikian dalam diskusi politik di AS, di mana istilah ini biasanya diterapkan pada Democrats seperti Democratic Leadership Council.

[sunting] Kritik

Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka.

Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh.

baca lanjut......

Selasa, 28 April 2009

Konsep Dasar Etika Politik

Oleh : Himawan Zuliyanto

Etika politik mengadung tiga tuntutan : pertama, sebagai hidup baik dan bersama orang lain; kedua upaya memperluas lingkup kebebasan; ketiga membangun institusi yang adil.
Thompson dalam buku”Political Ethics and Publik Office” dikatakan bahwasanya etika politik adalah praktik melakukan etis atas tindakan politik.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kepada hidup lebih baik, bersama, dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi yang adil.
Dimensi etika politik menurut Thomson dibagi tiga :
1. Etika minimalis
Terdiri dari norma yang menghambat konflik kepentinganfungsional serta membatasi penonjolan kepentingan pribadi dalam kegiatan public.
2. Etika fungsionalis
Menekankan perlunya penjabaran fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh seorang pejabat public yaitu mengabdi kepada kepentingan public yang sebenarnya.
3. Etika rasionalis
Menekankan pada prinsip hakiki kegiatan politik yaitu keadilan, kebebasan, serta kebaikan bersama.

baca lanjut......

Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU

Oleh M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi*

Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan juta
massa, Nahdlatul Ulama (NU) nyaris selalu terlibat dalam setiap
pergulatan politik. Dengan basis massa yang begitu besar, NU memang
menggiurkan sebagai alat legitimasi politik, terlebih politik agama.
Sejak kelahirannya pada 1926, warna politik sudah kental melekat pada
NU. Tetapi sebagai ormas keagamaan tradisional, kiprah politik NU tak
lepas dari nilai- nilai dan norma-norma Islam yang secara baku
dirumuskan dalam fiqh, termasuk untuk masalah-masalah politik dan
kenegaraan. Tak heran jika kemudian muncul terminologi figh siyasah
atau fiqh politik yang mendasari setiap keputusan politik NU.

Sayang, disiplin fiqh siyasah itu belum memperoleh perhatian serius.
Di pusat-pusat studi Islam, Timur Tengah maupun Barat, literatur fiqh
siyasah terhitung langka. Apalagi di Indonesia. Bahkan dari kalangan
intelektual muslim pribumi, baru beberapa gelintir orang yang
menunjukkan minat dan mau menulis mengenai hal itu. Misalnya Munawir
Syadzali dengan bukunya Islam dan Tata Negara, A. Syafi'i Maarif yang
membukukan disertasinya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan dan M. Ali Haidar yang menulis NU dan Islam di Indonesia.

LATAR BELAKANG
Kurangnya minat terhadap kajian fiqh siyasah, barangkali di
latarbelakangi kecenderungan para pemikir Islam masa lalu yang lebih
menekankan bahasan-bahasan fiqh pada aspek ibadah secara rinci. Bahkan
bahasan tentang aspek muamalah pun tak cukup lengkap, sehingga aspek
siyasah praktis terabaikan.

Penekanan berlebihan pada aspek ibadah, seperti diungkapkan
Abdurrahman Wahid, merupakan pengaruh dari tasauf yang berkembang
setelah munculnya huru-hara politik yang menorehkan pengalaman
traumatik. Konflik kekuasaan menyusul habisnya era al khulafa ar
rasyidin, telah melahirakan instabilitas politik di panggung para
umara yang berebut naik ke puncak kekuasaan, sekaligus instabilitas
teologi di pentas para ulama yang memunculkan beragama aliran aqidah
dari yang lurus hingga yang sesat. Pengalaman pahit ini mendorong para
tokoh Islam untuk mengembangkan kehidupan sufistik yang mengacu pada
upaya pencapaian taraf spiritual tertinggi, misalnya melalui tarekat.

Di satu sisi, orientasi sufistik itu berdampak positif pada
peningkatan kesalehan individual. Tetapi di sisi lain, muncul dampak
negatif, yakni menurunnya kepeduliaan pada persoalan- persoalan
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi kehidupan umat.
Dan fiqh pun terkena imbasnya. Padahal, seperti di katakan Sidney
Jones, pandangan hidup dan tradisi pemikiran umat Islam cenderung fiqh
sentris. Mereka mengkaji segala persoalan, termasuk
persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kacamata
fiqh seperti yang dilakukan para kiai NU melalui forum bahtsul masail.

Tentu saja tidak gampang memahami, apalagi mengimplementasikan,
persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan fiqh. Tetapi untunglah
bahwa para ulama cukup piawi dalam mensiasati kaidah-kaidahnya,
sehingga pendekatan fiqh mampu mengakomodasikan pelbagai persoalan,
termasuk masalah politik dan kenegaraaan.

KECENDERUNGAN AKOMODATIF
Cukup banyak contoh yang dapat dikedepankan dalam kaitannya dengan
ciri legal formal fiqh yang diimplementasikan secara akomodatif dalam
persoalan siyasah itu. Kebanyakan memang diambil dari hasil kajian
para kiai NU yang pada masa lalu sangat intensif terlibat dalam
pergulatan politik.

Salah satu contoh ialah implikasi penerapan norma-norma fiqh dalam
pandangan kenegaraan yang dianut mayoritas umat Islam. Mereka
memandang bahwa kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara, merupakan
hal yang tak bisa ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya
ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup,
terlepas dari perilaku penguasa dalam kapasitas pribadinya. Kesalahan
tindakan atau keputusan pemerintah, tidak mengharuskan adanya
perubahan sistem. Konsekuensinya ialah keabsahan negara begitu ia
berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan terhadap pemecahan
alternatif yang memaksakan perubahan secara radikal.

Dengan demikian, perbaikan sistem mesti dilakukan secara gradual guna
menghindari anarki. Kaidah populer yang digunakan para ulama sunni
dalam hal ini adAlah sulthonun zholum khoirun min fitnatin tadum, yang
berarti sistem kekuasaan yang mapan dan menjamin stabilitas lebih baik
ketimbang kondisi anarki yang berkepanjangan. Itu pula yang mendasari
keluarnya fatwa jihad oleh Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari menjelang
pecahnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam kasus semacam
ini, kewajiban bela negara harus diberlakukan meski keadaan negara
masih jauh dari kondisi ideal.

Contoh yang lain ialah penetapan status kenegaraan Indonesia dalam
konteks persoalan syariat Islam. Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin,
muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan
Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa
sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah
menurut syariat Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan
Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status
Darul Islam.

Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris dan
disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak
diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun.
Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca kemerdekaan.
Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadlramaut Syekh Muhammad Sholih Ar
Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status
Darul Islam tetapi melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada
kaidah al ashlu baqa'u ma kana ala ma kana, yang berarti selama tak
ada perubahan mendasar maka status yang berlaku sebelumnya tetap
dipertahankan.

Maka, Muktamar NU pun menetapkannya. Cuma saja, untuk menghargai
bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU
memutuskan mengubah istilah Darul Islam yang bermakna negara Islam
menjadi Darul Salam yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu,
maka perasaan terancam dari agama lain dpat dihindarkan. Karena itu,
NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.

Sesungguhnya masih banyak contoh lainnya yang relevan dalam perspektif
kekinian, yang kesemuanya menunjukkan bahwa dengan menggunakan fiqh
siyasah sebagai landasan politik, NU dapat mengembangkan peran
politiknya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa
harus mengorbankan prinsip. Sebab, kebenaran, keadilan dan demokrasi
yang menjadi konsern NU memang sulit diperjuangkan secara radikal, dan
karena itu perbaikan sistem dengan pendekatan fiqh selalu diupayakan
secara gradual.

Memang, dengan cara seperti itu muncul kesan yang kuat bahwa sikap dan
budaya politik NU cenderung oportunistik. Hal itu sering dijadikan
kambing hitam terhadap inkonsistensi perjuangan Islam di Indonesia dan
penyebab utama munculnya perbedaan strategi perjuangan yang dianut NU
dan kelompok Islam lain di Indonesia. Padahal, itu tidak sepenuhnya
tepat. Karena yang menjadi pedoman bagi NU bukanlah strategi
perjuangan politik atau pandangan ideologi politik, tetapi keabsahan
di mata fiqh.

Pedomana ini menjadi tolok ukur bagi seluruh kegiatan kenegaraan, baik
oleh masyarakat maupun pemerintah. Itu sebabnya diberlakukan kaidah
tasharruf al imam ala ar raiyyah manuthun bi al mashlahah (kebijakan
dan tindakan pemegang kekuasaan terhadap rakyat, harus berorientasi
pada kebaikan bersama).

Dari sini, nampak --sebagaimana diutarakan Munawir Syadzali- - bahwa
para teoritisi politik Islam sama sekali tak mencari pola idealisasi
bentuk kenegaraan yang Islami, melainkan justru menekankan penggunaan
bentuk yang sudah ada. Ibnu Khaldun, Abu Ya'la dan Al Mawardi, jelas
menempuh upaya perbaikan keadaan negara secara gradual dengan mencoba
mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempurankan sistem yang ada
menuju welfare state yang mereka istilahkan dengan baldatun
thoyyibatun wa robbun ghofur.

Kiranya, perubahan secara gradual menuju kesempurnaan itulah yang
harus dilakukan oleh NU. Tanpa upaya itu, maka perjuangan yang selama
ini didengungkan atas nama Islam tak akan banyak berarti. Justru yang
timbul adalah kesan NU sebagai penjaga status quo dan terkooptasi oleh
sistem yang ada, seperti terjadi pada sebagian ormas Islam yang lain.
Memang itu bukan hal yang mudah. Perlu adanya pengembangan visi serta
perluasan wawasan, sehingga apa yang diperjuangkan menjadi jelas dan
terarah.

* M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi, aktivis Forum Santri Indonesia
(FSI) dan pengajar di Pesantren Tebuireng Jombang.

baca lanjut......

Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru

Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)
Drs. Abdul Haris, M. Ag., dkk
STAIN Jember Jawa Timur


Ringkasan Laporan Hasil Penelitian “Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru (Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)” oleh Drs. Abdul Haris, M. Ag. (Ketua Tim Peneliti), M. Khusna Amal, S.Ag., M. Si., Nur Solikin, S. Ag. Semuanya adalah Staf Pengajar STAIN Jember. Ditulis kembali oleh M. Khoirul Muqtafa. Penelitian ini dibiayai oleh Departemen Agama dalam rangka Penelitian Kompetitif yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Depag RI Tahun 2002.

Pasca Orde Baru, terdapat fenomena unik pada diri NU dalam hal berpolitik. Perubahan peta sosial-politik pada masa ini direspon NU dengan cara, salah satunya, menggagas sebuah partai politik yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia kecil dalam rangka merumuskan pembentukan partai politik tersebut. Lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena alasan integralitas wadah penyaluran aspirasi warga NU, PKB lantas diklaim sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU. Sebelumnya, nama yang diusulkan PBNU adalah Partai Kebangkitan Umat (PKU) (Faisal Ismail, 1999: 35; Kuntowijoyo, 1999: 27). Kalau dicermati dengan seksama, tindakan para tokoh NU ini cukup mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran sikap, orientasi dan bahkan perilaku politik (political action) pada diri NU. Kalau selama ini pola perilaku politik NU bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan dan pemberdayaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Ali Maschan Moesa (Jawa Pos, 12 Oktober 2002) menyatakan bahwa pergeseran perilaku politik ini bisa dilihat dari peran politik NU yang independen dan oposan menjadi partisan, dan dari partai politik kerakyatan menjadi politik kekuasaan. Meski pergeseran perilaku politik ini lebih bersifat personal atau komunal dalam NU sendiri bukan secara institusional yang melibatkan organisasi, dalam prakteknya susah dipisahkan antara keduanya. Karena tindakan personal atau kelompok yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU selalu mengusung simbol-simbol keorganisasian NU, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli 1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu-satunya partai milik warga NU (Badrun Alaena, 2000: 103-104). Aksi tokoh-tokoh NU dengan segenap warga Nahdliyyin dalam melakukan keberpihakan terhadap Abdurrahman Wahid yang menduduki kursi kepresidenan ketika terjadi konfrontasi dengan MPR/DPR juga mengindikasikan pergeseran ini. Hal ini ditambah dengan pernyataan sikap para ulama NU yang mendukung Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 sebagai political counter terhadap maklumat MPR/DPR yang hendak mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Semua tindakan yang dilakukan NU tersebut, jelas tidak muncul begitu saja tanpa memiliki pretensi politik.

Sekilas perilaku politik NU ini dapat dikatakan kontra-produktif dengan pola perilaku politik NU pasca Khittah di mana NU memutuskan untuk menarik diri dari percaturan politik praktis untuk kembali kepada garis perjuangan semula yakni sebagai organisasi sosial-keagamaan. Juga aktivitas perpolitikan NU yang banyak diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaan (moral force). Namun demikian, tindakan NU untuk turut membidani kelahiran PKB dan keterlibatan politik di dalam partai itu tidak serta merta dapat dijadikan dalih untuk menjustifikasi bahwa NU telah berpolitik praktis dan mengingkari Khittah tersebut. Sebab, NU sendiri telah membuat garis pembatas yang sangat tegas dimana hubungan antara NU dan PKB hanyalah bersifat moral, kultural, historis, aspiratif, bukannya bersifat struktural (Hasyim Muzadi, 1999: 108).

Pun ada garis demarkasi yang tegas antara NU dan PKB, relasi antar keduanya sesungguhnya seringkali tampak kabur ketika dihadapkan pada realitas perpolitikan yang ditunjukkan oleh organisasi NU dan waganya secara umum. Keterlibatan aktif para tokoh dan kader NU dalam mendirikan dan mengurusi PKB, pada taraf tertentu, dapat diartikan bahwa NU mulai memasuki kembali political sphere dan tampak kian berorientasi kepada suatu upaya untuk kembali—meminjam istilah Syamsuddin Haris (1990: 41)—“berjaya secara politik” sebagaimana pengalaman politik NU pada era 1950-1970-an di mana NU benar-benar menjadi aktor politik (political actor) yang secara langsung berkiprah dalam sruktur perpolitikan negara.

Hal senada juga ditangkap oleh Martin van Bruinessen (Jurnal Gerbang, 12-V, 2002: 10) ketika ia menghadiri Muktamar NU ke 30 di Kediri pada November 1999. Menurutnya, para pemimpin NU lokal yang berkumpul di sana sangat bersuka cita dengan kembalinya pemimpin mereka kepada “politik praktis” setelah mereka menunggu selama kurang lebih 15 tahun dengan penuh keresahan. Para pemimpin NU lokal ini terkesan sangat berambisi untuk kembali kepada politik patronase 1950 dan 1960-an. Bahkan, banyak delegasi yang mengharapkan terciptanya hubungan yang formal antara NU dan PKB, atau alternatifnya mengubah NU menjadi partai politik lagi.

Munculnya kecenderungan pergeseran perilaku politik kultural ke arah politik praktis ternyata tidak hanya tampak pada organisasi NU di tingkat Pusat melainkan juga di tingkat lokal yang berbasis di daerah-daerah, termasuk kasus aktivitas politik NU Jember Jawa Timur. Berdasarkan data pengamatan awal yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, sementara ini, aktivitas-aktivitas yang dilakukan NU Jember lebih banyak bergesekan dengan wilayah politik praktis seperti kepentingan untuk menguasai pos-pos kekuasaan strategis dalam pemerintahan daerah, dukungan praktis kepada PKB Cabang Jember dalam kasus pemilihan Bupati Jember, keterlibatan NU Jember dalam mengurusi persoalan Pemerintahan Kota (Pemkot) dan berbagai aktivitas perpolitikan praktis lainnya. Bahkan, di lingkungan NU Jember tampak adanya kevakuman aktivitas-aktivitas yang bercorak sosial-keagaamaan.

Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Jember karena merupakan satu daerah kantong NU yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah kantong NU yang lain. Sebagai bagian daerah yang masuk dalam lingkup wilayah “tapal kuda”—meliputi: Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo—, warga NU Jember dikenal memiliki karakter sosio-kultural yang cukup militan. Namun dalam konstalasi perpolitikan daerah, warga NU Jember kurang mendapatkan tempat secara proporsional dalam struktur pemerintahan daerah. Alasan lain adalah banyaknya kajian tentang NU dan politik pada umumnya yang dilakukan pada lingkup makro, dan masih sedikit yang mengangkat perkembangan gerakan NU pada tingkat mikro.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan penjelasan mengenai situasi dan kondisi sosio-politik yang menjadi konteks atau melatarbelakangi pergeseran perilaku politik kultural NU Jember di era multi partai pasca Orde Baru. Juga untuk menemukan penjelasan tentang faktor-faktor yang turut mendorong proses pergeseran perilaku politik ini. Dengan menggunakan strategi studi kasus (case study) bercorak deskriptif-eksploratif, peneliti mencoba menggali secara mendalam berbagai kasus perpolitikan kontemporer yang menyeret NU Jember untuk aktif terlibat di dalamnya. Dilihat dari dimensi waktunya, kasus-kasus perpolitikan NU Jember yang dikaji berada pada pusaran periode pasca Orde Baru yakni mulai dari awal terjadinya proses reformasi sampai sekarang.

Memotret NU Jember

Jauh sebelum organisasi (jam’iyyah) NU Cabang Jember berdiri, di daerah Jember telah berkembang komunitas (jamâ’ah) muslim yang mengikuti paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (Sunni). K.H. Mohammad Shiddiq di sebut-sebut sebagai sosok utama perintis dan pengembang Islam Sunni pertama yang kelak menjadi embrio kelahiran NU Jember yang pada hakekatnya merupakan wahana pelembagaan formil dari tradisi Sunni itu sendiri.

Meski demikian, timbul satu kesulitan untuk dapat mengungkap secara pasti bagaimana perintisan dan kapan persisnya NU Jember itu secara organisatoris berdiri. Sebab, tidak ditemukan catatan tertulis otentik yang merekam hal tersebut secara sistemik. Para ulama yang menjadi pelaku sejarah (founding fathers) dalam perintisan NU Jember pun sudah tidak bisa diketemukan lagi. Jangankan generasi pertama (generasi K.H. Muhammad Shiddiq), generasi kedua atau yang bisa disebut “generasi sahabat” yakni mereka yang menyertai dan mengikuti life history generasi pertama tidak dijumpai lagi. Yang ada adalah generasi ketiga (tabi’în: mereka yang mengikuti perjalanan generasi kedua), generasi keempat dan seterusnya (tabi’în tabi’în) yang sudah banyak mengalami keterputusan mata rantai historisitas NU Jember sejak pertama.

Karena itu, terdapat pendapat yang beragam ikhwal pendirian NU Jember ini. Ada yang berpendapat bahwa secara formal organisatoris, NU Jember berdiri pada tahun 1928, tepat dua tahun setelah pendirian NU tingkat nasional di Surabaya tahun 1926. Pendirian NU tingkat nasional ini memang banyak melibatkan kyai-kyai dari Jawa Timur. Dimungkinkan, kyai-kyai dari Jember saat itu ada yang terlibat dalam proses pendirian NU. Karena, Jember sudah memiliki kyai-kyai yang punya reputasi diperhitungkan di Jawa seperti K.H Mohammad Shiddiq yang dianggap sebagai penyebar dan pengembang Islam pertama di Jember.

Pendapat yang lain adalah NU Jember secara formal organisatoris baru berdiri pada periode 1930-an, tepatnya 1932. Pada tahun 1934, NU Pusat menyelenggarakan Muktamar ke sembilan tempat di Banyuwangi, Jawa Timur, yang menetapkan K.H Mahfudz Shiddiq dari Jember sebagai salah satu ketua PBNU. Diadakannya Muktamar dalam skala nasional sudah barang tentu melibatkan cabang-cabang NU yang ada di berbagai wilayah. Dan tidak mungkin, ketika kongres tesebut berlangsung NU Jember belum terbentuk. Apalagi salah satu ketua PBNU terpilih berasal dari Jember yang dikenal aktif dan pernah pula menjabat ketua NU Jember.

Sepeninggal K.H Mohammad Shiddiq, 2 Ramadlan 1353 H/ 9 Desember 1934 M, pengembangan NU Jember dipegang oleh putra beliau K.H Mahfudz Shiddiq dan para ulama seangkatan hasil bimbingan K.H Mohammad Shiddiq. Praktis, pada masa ini sampai akhir 1940-an menjadi era perjuangannya K.H Mahfudz Shiddiq dan kawan-kawan dalam mengembangkan NU Jember. Pada tahun 1934 K.H. Mahfudz Shiddiq didaulat menjadi salah satu ketua Tanfidziyah PBNU. Meski demikian, beliau tetap mempunyai perhatian tersendiri terhadap perkembangan NU Jember. Pada periode ini, aktivis keorganisasian NU banyak dicurahkan kepada perjuangan membela tanah air dari penindasan kaum kolonialis dan persiapan meraih kemerdekaan.

Era 1950-an sampai dengan 1980-an, perkembangan NU Jember banyak diwarnai oleh kiprah K.H Ahmad Shiddiq, adik K.H Mahfudz shiddiq. Seperti kakaknya, K.H Ahmad Shiddiq menjelma menjadi aktivis NU progresif dan terkenal cemerlang serta banyak berjasa bagi perkembangan NU Jember, terutama NU skala nasional. Sejak 1949-1952, K.H Ahmad Shiddiq sudah aktif mendampingi kiprah Menteri Agama K.H Wahid Hasyim dari NU sebagai Sekretaris Menteri. Pada tahun 1955-1957 dan 1971 K.H Ahmad Shiddiq pernah menjadi anggota DPR (Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS., 1999: 41). Pun demikian, NU Jember tidak dilupakan begitu saja oleh beliau. Karena beliau tahu betul bahwa karirnya dimulai dari Jember.

Pada era 1952-an sampai 1980-an, kondisi NU secara keseluruhan, baik di pusat, wilayah, dan daerah, termasuk NU Jember, berubah menjadi partai politik yang berorientasi kepada kepentingan-kepentingan politik praktis. Periode 1980-an, kiprah K.H Ahmad Shiddiq masih sangat signifikan. Pada tahun 1984, ia terpilih menjadi Rais Syuriah NU berdampingan dengan Gus Dur sebagai ketua Tanfidziyah. Di bawah kepemimpinan kedua tokoh ini, NU yang banyak memfokuskan kegiatannya pada persoalan politik, dapat dikembalikan ke jati dirinya semula yakni sebagai organisasi sosial keagamaan dengan menempatkan peran sentral para kyai. Perubahan status NU dari partai politik menjadi organisasi sosial keagamaan yang ditetapkan melalui Muktamar NU 1984 di Situbondo, secara otomatis berdampak kepada organisasi-organisasi NU yang ada di tingkat daerah. Tokoh-tokoh NU Jember saat itu seperti K.H Muhid Muzadi, H. Muhson Sudjono yang sempat menjadi anggota DPRD Jember beberapa kali pada pemilu 1955 dan 1971, kembali menggeluti aktivitas di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan. Pada masa ini penguatan NU secara kultural gencar dilakukan.

Adapun penguatan secara struktural keorganisasian NU Jember mulai tampak pada periode 1980-1990-an. Dari dokumen Konferensi Cabang NU Jember, diketahui beberapa program kerja NU Jember yang tidak lagi berorientasi semata-mata kepada pembinaan jamâ’ah NU Jember melalui kegiatan dakwah, pendidikan pesantren, perekonomian, dan sosial kemasyarakatan. Kegiatan NU Jember diorientasikan pula kepada aspek pembinaan dan pembenahan struktural institusi NU itu sendiri yang terkesan kalah wibawa bila dibandingkan dengan peran personalitas kyai dan pesantren. Beberapa program kerja seperti Pelatihan (workshop), Managemen Organisasi, Managemen Sumber daya Manusia Pengurus, Pengelolaan Tertib Administrasi, Kepemimpinan organisasi Pengurus NU, mulai diprioritaskan secara serius.

Dengan demikian, wajah kekinian NU Jember tidak lagi dimonopoli dan dihiasi tokoh-tokoh tua dari kalangan pesantren salaf sebagaimana sebelumnya di mana peran mereka begitu mendominasi. Program-program kegiatan NU Jember, baik yang terkait dengan aspek struktural keorganisasian NU Jember maupun kultural warga masyarakatnya, mulai tersusun secara sistematis dengan memiliki sasaran dan target yang jelas. Ditilik dari kebijakan penyusunan dan pelaksanaan program kerja lebih lanjut, NU Jember kian terlihat profesional dalam menanganinya. Agenda kegiatan NU Jember selalu diselaraskan dengan kondisi perkembangan sosial dan politik masyarakat yang terus berubah. Pola kerjasama antara instansi atau organisasi baik pemerintah maupun non-pemerintah dan pelaksanaan program kerja yang profesional mulai ditempuh. Beberapa agenda kegiatan NU Jember yang terencana pada dekade terakhir dapat ditemukan dalam laporan pertanggungjawaban kepengurusan 1993-1997 dan musyawarah kerja NU Jember periode 1999-2004 yang antara lain menitikberatkan kebijakan program kegiatan NU pada: 1) peningkatan amal dan prestasi NU baik kuantitatif maupun kualitatif sebagai upaya mencapai kemaslahatan umat; 2) meningkatkan sumberdaya manusia NU dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; 3) meningkatkan kelembagaan NU secara organisatoris di samping kekuatan NU secara kultural; 4) mempererat jaringan komunikasi baik individu maupun kelompok untuk memecahkan masalah-masalah bersama yang dilandasi Ukhuwah Nahdliyyah, Ukhuwah Islâmiyyah, dan, Ukhuwah Basyariyyah; dan 5) meningkatkan kesadaran dalam mengamalkan Khittah NU 1926. Kelima kebijaksanaan program kerja NU tersebut dituangkan ke dalam lima departeman program kerja yang meliputi: a) pengembangan sumberdaya manusia NU; b) program perekonomian dan kesejahteraan; c) sosial; d) dakwah; dan e) keorganisasian (Laporan Hasil Konfercab NU Jember, 1999).

Pergeseran Perilaku Politik Kultural NU Jember

Proses pembentukan PKB sebagai jalur partisipasi politik merupakan sebuah langkah fenomenal yang ditempuh oleh warga nahdliyyin pasca tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru. Langkah ini tentunya tak bisa dilepaskan dari peran partisipatif warga NU di tingkat daerah, sebagaimana Jember. Menurut keterangan beberapa informan yang berhasil dihimpun oleh peneliti, keterlibatan NU Jember dalam kasus pembentukan PKB sudah berlangsung lama yakni ketika muncul wacana pembentukan partai politik di lingkungan internal NU pasca reformasi. Pada saat itu, beberapa tokoh dan kader muda NU Jember aktif melakukan berbagai kegiatan diskusi tentang kemungkinan NU membentuk partai sendiri. Serangkaian kegiatan diskusi yang disponsori kader-kader muda NU Jember melibatkan serta tokoh-tokoh dan segenap warga NU Jember dari berbagai elemen. Wacana yang kemudian menguat dan mewarnai setiap diskusi tersebut adalah keinginan warga NU Jember untuk memiliki partai politik sendiri pasca Orde Baru.

Keinginan ini kian memiliki momentum relevansifnya ketika PBNU mulai responsif untuk menanggapi tuntutan warga NU dari berbagai daerah. Mulai saat itu, kegiatan diskusi terus dilakukan secara intensif guna mematangkan rumusan konseptual tentang pembentukan partai politik yang akan diusulkan kepada PBNU. Bahkan, beberapa tokoh NU Jember seperti K.H Yusuf Muhammad (Gus Yus) dan K.H Muhid Muzadi, turut ambil bagian secara langsung dalam setiap proses pembentukan partai politik yang difasilitasi PBNU. Puncaknya, NU Jember yang saat itu berada di bawah kepemimpinan H. Mukhson Sudjono memfasilitasi dan sekaligus mem-back up pendeklarasian PKB cabang Jember yang dilakukan di Pondok Pesantren Sumberwringin pimpinan K.H Khatib Umar.

Faktor yang turut mendorong keinginan warga Jember untuk membentuk partai politik banyak dipengaruhi oleh perubahan peta sosial-politik yang terjadi pasca lengsernya Soeharto yang kemudian digantikan oleh Habibie. Pergantian ini dianggap tidak lazim dan tidak melalui proses-proses yang demokratis. Karena, proses peralihan dilakukan dengan cara pengangkatan secara langsung oleh mantan Presiden Soeharto kepada penggantinya secara langsung di hadapan Mahkamah Agung (MA). Menurut Ignas Kleden (2000:5), Habibie hanya memiliki persyaratan secara legal tetapi tidak memiliki persyaratan secara legitimasi. Meski demikian, kepemimpinan Habibie akhirnya diterima dengan berbagai catatan.

Pada masa ini, Habibie melakukan beberapa perubahan yang signifikan berkaitan dengan wacana kepartaian di tanah air. Habibie merevisi undang-undang pemilihan umum yang selama Orde Baru hanya memberikan kewenangan terhadap tiga partai politik sebagai kontestannya yakni Golkar, PPP, dan PDI. Dalam perubahan kebijakan politiknya, Habibie memberikan ruang kebebasan kepada kelompok masyarakat untuk membentuk partai politik baru. Kebijakan ini disambut dengan antusiasme yang tinggi oleh masyarakat untuk membentuk partai termasuk warga NU Jember.

Apabila ditelisik lebih jauh, perubahan sosial-politik pasca Orde Baru bukan merupakan satu-satunya faktor determinan yang memprovokasi NU Jember untuk berpartisipasi mendirikan partai politik. Faktor yang lain banyak dilatarbelakangi oleh: orientasi historis-politis, orientasi potensi dan kompetensi diri, orientasi moralitas dan idealitas, serta orientasi praktis dan pragmatis.

Orientasi historis-politis yaitu kecenderungan sikap dan pandangan yang mewarnai NU Jember terhadap pengalaman sejarah perpolitikannya di masa lampau. Keterlibatan NU Jember dalam proses-proses perpolitikan daerah atau bangsa telah berlangsung cukup lama. Namun, dalam rentang panjang sejarah perjalanan perpolitikannya, NU Jember kerap diperlakukan secara kurang adil seperti gerakan politik yang dilakukan kelompok modernis dan reformis dalam melakukan penggusuran terhadap kader-kader politik NU Jember dari pos-pos penting yang berada di Masyumi dan birokrasi pemerintah daerah.

Kemudian, untuk beberapa saat NU Jember dapat memainkan aktivitas perpolitikannya pada saat dirinya mengikuti jejak PBNU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri yakni Partai Politik NU (PNU) cabang Jember pada 1952-1973. Namun setelah itu, NU Jember kembali dimarginalisasikan dari area perpolitikan. Tepatnya, pada era Orde Baru dengan kebijakan depolitisasinya yang mengakibatkan NU Jember banyak kehilangan aset politik yang selama kurun waktu 1952-1973-an berhasil digenggamnya. Praktis, sepanjang rezim pemerintahan Orde Baru, NU Jember kurang mendapatkan peran politik yang proporsional. Padahal, mayoritas penduduk Jember secara ideologis adalah warga NU.

Sedangkan orientasi potensi dan kompetensi diri yakni sikap dan pandangan yang mengarah kepada aspek modal sumber daya manusia dan kemampuan diri warga NU. Persoalan ini kerap dijadikan argumentasi politik bagi NU Jember untuk berpartisipasi membidani kelahiran partai politik pasca Orde Baru. Berkaitan dengan hal ini, K.H Muhyiddin Abdusshomad secara realistis juga melihat persoalan tersebut sebagai realitas empirik yang turut menjadi pertimbangan NU Jember berkepentingan mendirikan partai politik. Menurutnya, jumlah warga NU Jember diperkirakan mencapai kurang lebih 80 %dari keseluruhan umat Islam di Jember. Potensi massa NU Jember yang begitu besar selama ini hanya dijadikan bahan rebutan partai-partai politik lain seperti Golkar, PPP, dan PDI. Akibatnya, potensi besar massa NU Jember menajdi terserak di mana-mana yang pada akhirnya hanya menjadikan NU Jember beserta massa yang dimiliki sebatas sebagai penyumbang suara bagi partai-partai politik milik orang/kelompok lain (Wawancara, 10/9/2002).

Orientasi moralitas dan idealitas yakni suatu sikap dan pandangan yang menekankan kepada peran penting perjuangan politik untuk merealisasikan cita-cita luhur yang dimiliki organisasi. Semangat idealitas dan moralitas dalam proses pembentukan partai politik dapat ditangkap cukup jelas dari sebagian warga NU Jember yang menghendaki agar NU, melalui partai politik yang digagasnya dapat berperan serta merestrukturisasi tatanan kehidupan politik bangsa yang lebih demokratis. Di samping itu, partai politik yang hendak didirikan NU itu harus memiliki muatan moral keagamaan berdasarkan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pengusungan etos idealitas dan moralitas dalam proses pembentukan partai politik di lingkungan NU Jember menandai terlalu umumnya pemaknaan warga NU Jember terhadap politik. Kegiatan politik cenderung disamakan dengan dakwah dan sosial sebagai amr al-ma’rûf nahi munkar dan akhlaq al-karîmah (Kuntowijoyo, 1997: 206). Berkaitan dengan semangat idealitas dan moralitas ini, warga NU Jember memandang pelaksanaan kekuasaan atau pemerintahan yang ada selama ini dinilai cenderung korup dan disalahgunakan secara semena-mena.

Adapun orientasi praktis dan pragmatis yaitu suatu sikap dan pandangan yang memiliki kecenderungan kepada kepentingan-kepentingan politik sesaat seperti mendapatkan kedudukan dan/atau jatah kekuasaan di pemerintahan. Orientasi ini merupakan realitas yang tidak bisa disembunyikan dari kepentingan warga NU Jember untuk turut mendorong PBNU mendirikan partai politik pasca Orde Baru. Secara terbuka, adanya orientasi kepentingan politik yang lebih praktis dan pragmatis diakui oleh tokoh-tokoh NU Jember. Bagi mereka, cukuplah logis ketika NU melalui sayap politik yang didirikannya berkepentingan menggapai target-target kekuasaan. Pasalnya, ketika NU Jember sudah terjun ke dunia politik praktis, maka tidak bisa dielakkan adanya gerakan untuk berkompetisi memperebutkan dan/atau turut mengatur distribusi kekuasaan (power sharing) sebagaimana lazimnya politik itu sendiri (Wawancara dengan K.H. Muhyiddin Abdusshomad, 10/9/2002; Mudatsir, 11/9/2002).

Setelah keinginan membentuk partai terealisir, reposisi NU Jember sebagai fasilitator dalam proses pembentukan PKB yang menjadi sayap politiknya dihadapkan pada kenyataan empirik yang paradoksal. Pasca terbentuknya PKB, muncul dilema-dilema yang dihadapi NU Jember. Satu sisi, NU Jember ingin melepaskan diri dari PKB dan mencukupkan diri sebagai fasilitator terhadap pembentukan PKB sebagaimana komitmen awal yang telah dicanangkannya. Pada sisi lain, NU Jember merasa dituntut tanggung jawab moralnya untuk ikut serta mempertahankan, mengembangkan dan membesarkan PKB. Sebab, tanpa adanya dukungan NU Jember, dapat dipastikan, PKB Jember tidak akan bisa menjadi partai besar. Pasalnya, modal sumberdaya manusia terbesar PKB terletak pada warga nahdliyyin yang dimiliki NU.

Dihadapkan pada situasi ini, NU Jember pun merasa terpanggil untuk terlibat penuh dalam mendampingi setiap proses perpolitikan yang dilakukan oleh PKB. Tidak jarang pula kemudian para tokoh NU yang merangkap jabatan dengan berkiprah menjadi pengurus di PKB. Alasan rangkap jabatan ini didasarkan pada satu argumentasi bahwa PKB di awal pendiriannya membutuhkan figur-figur NU yang sudah popular dan memiliki massa yang riil. Semua ini terkait dengan kepentingan PKB Jember untuk dapat memperoleh dukungan suara dari mayoritas warga nahdliyyin untuk kepentingan pemenangan pemilu 1999.

Kiprah NU Jember terus berlangsung sehingga kerap menyeretnya ke area perpolitikan praktis. Tercatat, kerapkali tokoh-tokoh NU Jember melakukan praktek mobilisasi massa lewat kampanye dengan memanfaatkan sentimen ideologis dan simbol-simbol keagamaan serta pernyataan politik partisan seperti ungkapan bahwa PKB itu satu-satunya partai yang didukung penuh oleh para ulama NU, maka dari itu memilih PKB bagi warga NU itu adalah fardlu ‘ain. Upaya ini memang menuai hasil. Melalui proses politik yang tak direncanakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dari PKB berhasil menduduki kursi kepresidenan. Hal ini menimbulkan euphoria politik bagi warga nahdliyyin. Tak berselang lama, pemerintahan Gusdur ini banyak menuai protes. Bahkan, Gus Dur hendak dilengserkan melalui skenario politik Sidang Istimewa. Hal ini membuat warga NU Jember harus bersikap tegas. Malah NU Jember juga terlibat dalam pembentukan Pasukan Berani Mati (PBM).

Khusus mengenai masalah ini, peneliti memperoleh informasi bahwa munculnya ide pembentukan PBM memang lahir dari kalangan NU Jember. K.H Muhyiddin Abdusshomad dan Mudatsir, mengatakan bahwa alasan pembentukan PBM itu, tiada lain, dimaksudkan untuk mewadahi kemarahan sebagian besar warga NU Jember yang melihat pimpinannya di-dhalimi. Sebab, kalau tidak diwadahi, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan tindakan-tindakan destruktif secara lebih luas. Oleh karena itu, beberapa tokoh NU Jember menyediakan wadah yang dapat digunakan warga NU Jember untuk menyalurkan segenap ekspresi kemarahannya atas upaya-upaya pelengseran Wahid dari kepresidenan. Bahkan, NU sendiri memberikan fasilitas kepada mereka yang tergabung dalam PBM untuk pergi ke Jakarta bergabung dengan segenap elemen warga NU yang tengah berjuang melakukan pembelaan terhadap Wahid. Jadi, penyediaan wadah berupa PBM itu sekali-kali tidak dimaksudkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang hendak melengserkan Wahid. Meski demikian, pembentukan PBM semakin mempertegas wajah radikal politik NU Jember pasca Orde Baru. Di samping hal tersebut di atas, NU Jember juga terlibat dalam pemilihan Bupati Jember periode 2000-2005. Juga terlibat dalam persoalan pembentukan Pemerintahan Kota (Pemkot).

****

Tindakan NU Jember dalam melakukan persinggungan dengan persoalan politik praktis, mulai dari keterlibatannya dalam proses pembentukan PKB; mobilisir massa pada pemilu 1999 dan pembentukan PBM dalam rangka back up Abdurrahman Wahid; pemilihan Bupati Jember periode 2000-2005; dan pembentukan pemerintahan kota, merupakan fakta empirik yang menunjukkan terjadinya pergeseran perilaku politik kultural pada diri NU Jember pasca Orde Baru. Kalau sebelumnya aktivitas perpolitikan NU Jember lebih berorientasi kepada—meminjam istilah A. Gaffan Karim—aspek kualitatif, kini (pasca pembentukan PKB) aktivitas perpolitikannya mulai mengalami pergeseran orientasi kepada aspek kuantitatif dengan target turut terlibat dalam power sharing. Pada saat bersamaan, tuntutan adanya representative government (Arief Afandi, 1997: 4) pun, tampaknya menjadi agenda perjuangan politik NU Jember yang semakin diprioritaskan dalam setiap gerakan politiknya.

Padahal, pasca Khittah 1926, aktivitas perpolitikan NU Jember banyak berorientasi kepada gerakan politik kultural di mana NU Jember lebih memilih untuk mengaktualisasikan peran politiknya dari luar struktur kekuasaan, dalam kapasitasnya—meminjam istilah K.H Ahmad Shiddiq—sebagai “moral force” yang tidak terlalu memperhitungkan persoalan representative government. Aktivitas politik NU lebih diorientasikan kepada peningkatan dan pendewasaan partisipasi politik sebagai tanggung jawab NU dalam rangka mempercepat proses demokratisasi (Ali Maschan Moesa, 2002: 21).

Reorientasi politik pada diri NU Jember dari kultural ke struktural, dan tragedi kegagalan politik yang kerap diterimanya, menjadikan NU Jember menampilkan sikap dan bahkan perilaku politik yang terkesan progresif-radikalistik. Hanya saja, progresivitas-radikalisme perilaku politik NU Jember mencuat ketika ia hendak memperebutkan dan mempertahankan kapling politik praktisnya. Model perilaku politik semacam ini, akan cukup berimplikasi terhadap pereduksian bangunan gerakan atau perilaku politik kulturalnya. Dapat dikatakan, pergeseran perilaku politik NU Jember yang kian menampakkan orientasi strukturalnya itu, diakui atau tidak, disukai atau tidak, pada tataran tertentu, dapat dikatakan telah merontokkan dan memarginalisasikan sendi-sendi Khittah ( Bakhtiar Effendy, 2000: 179; Azyumardi Azra, 2002; 44-46).

Pun demikian, tindakan NU Jember untuk turut berpartisipasi membentuk partai politik sendiri membawa implikasi positif. Sebab, bagaimanapun NU Jember cukup berjasa dalam memecahkan problema kepolitikan NU pasca Orde Baru pada saat elemen-elemen sosial yang lain ramai-ramai mendirikan partai politik. Kebingungan warga NU Jember dalam menyalurkan aspirasi politiknya dapat terpecahkan berkat responsibilitas NU Jember untuk turut menyediakan saluran politik bagi warganya. Sementara itu, keterlibatan NU Jember bersama PKB dalam perpolitikan praktis di tingkat daerah yang kerap membawanya memasuki konflik politik telah menciptakan dinamika perpolitikan tersendiri. Paling tidak, NU Jember semakin terdewasakan dengan pengalaman-pengalaman perpolitikan yang didapatkannnya. Sebab, kebanyakan warga NU Jember yang aktif terlibat dalam bidang politik tidak pernah mendapatkan pendidikan politik secara memadahi. Keterlibatannya secara praksis dalam mengikuti setiap agenda perpolitikan praktis yang tengah berlangsung dapat menjadi laboratorium pendidikan politik yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Afandi, Arief (ed.), Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Alaena, Badrun, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000.

Ali, Fachry dan Iqbal Abdul Rauf Saimima, Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan Pembangunan, dalam LP3ES, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1991.

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Bisma Satu, Surabaya, 1999.

Andrain, Charles F., Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.

Asy’ari, Su’aidi, The Role of Muslim Groups in Contemporery Indonesian Nationalism: A Study of the Nahdlatul Ulama Under the New Order 1980s-1990s. Thesis, Institute of Islamic Studies MCGill University, Montreal Canada, 1999.

Azra, Azyumardi, Kasus PKB-NU Kegagalan Politik Islam. Majalah Nahdlatul Ulama AULA No. 07 Tahun XXIV, PWNU Jawa Timur, Surabaya, 2002.

Bruinessen, Martin Van, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah 1926: Pergulatan NU dekade 1990-an, dalam Ellyasa K.H. Darwia (ed). Gus Dur dan Masyarakt Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.

_________, Kembali Ke Situbondo? Sikap NU Terhadap Kepresidenan Gus Dur dalam Jurnal Gerbang 12-V, eLSAD, Surabaya, 2002.

Creswell, John W., Research Design Qualitative and Quntitative Approaches, Sage Publications, California, 1994.

Dhakidae, Daniel, Langkah Non Politik dan Politik NU, dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982.

Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, cetakan Keempat, Rajawali Pers, Jakarta, 1989.

Effendy, Bahtiar, Repolitasi Islam, Pernakah Islam Berhenti Berpolitik?, Mizan, Bandung, 2000.

Fealy, Greg, Wahab Chasbullah Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU, dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed). Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Feillard, Andree, Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibilitas, Legitimasi dan Pembaharuan, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), Gus Dur dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

________, NU Visa a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.

Haris, Syamsuddin, NU dan Politik: Perjalanan Mencari Identitas, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.

Herson, Lawrence J.R., The Politics of Ideas Political Theory and American Public Policy, The Dorsey Press, Illinois, 1984.

Hikam, Muhammad A,S., Khittah dan Pergulatan Civil Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis dan Struktural atas NU di Indonesia sejak 1984, dalam Ellyasa K.H. Darwis (ed). Gus Dur dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

______, Islam, Demokratisasi dan Perkembangan Civil Society, Erlangga, Jakarta, 1999.

Humas Sekretariat Daerah, Profil Kabupaten Jember, Penerbit Bagian Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Jember, Jember, t.t.

Ismail, Faisal, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999.

Jember, Pemerintahan Kabupaten, Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Jember, 2001.

_______, Perencanaan Strategik Pemerintahan Kabupaten Jember, Bagian Humas Sekretariat Kabupaten Jember, Jember, 2001.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. R.M.Z. Lawang, cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta, 1986.

Jones, Sidney, Pengkerutan dan Pemuaian Makna “Umat” dan Peran Nahdlatul Ulama, dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed.) Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Karim, Gaffar, Metamorfosis, NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKiS, Yogyakarta, 1995.

Kleden, Ignas, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Ahmad Suaedy. (ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokritisasi, LKiS, Yogyakarta, 2000.

Komisi Pemilihan Umum, Nuansa Pemilihan Umum di Indonesia, t. pn., Jakarta, t.t.

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1989.

Kuntowijoyo, Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam, dalam Mustofa (ed) Memilih Partai Mendambakan Presiden: Berdemokrasi di Ufuk Millenium, Rosda, Bandung, 1999.

______, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997.

Maridjan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992.

Maxweel, Josep A., Qualitative Research Design an Interactive Approach, Sage Publication, California, 1996.

Moesa, Ali Maschan, NU, Agama dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionlis Terhadap Nilai-Nilai Kebangsaan, Pustaka Dai Muda, Surabaya, 2002.

­­­­­­­­­­________. Refleksi Konferensi Wilayah NU Jatim NU di Tengah Tarik Ulur Politik, Jawa Pos 12 Oktober, 2002, PT. Jawa Pos, Surabaya.

Miles, Mattew & A. Michel Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi, UI Press, Jakarta, 1992.

Mulkhan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Rajawali Persada, Jakarta, 1989.

Munasichin, Zainul, Politik NU, NU Politik: Studi Kasus Relasi NU PKB Jember, dalam Jurnal Gerbang 12-V, eLSAD, Surabaya, 2002.

Muzadi, Muhid, Jatidiri PKB, Perc. Offsett: Nurisss, Jember, 1999.

­­________, Kaitan NU dan Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam Aula No. 08 Tahun XX, PWNU Jawa Timur, Surabaya, 1998.

Muzadi, Hasyim, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta, 1999.

Nakamura, Mitsuo, Tradisionalisme Radikal Catatan Muktamar Semarang 1979. Dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed),. Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Noeh, Munawar Fuad & Mastuki HS., Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, Logos, Jakarta, 1999.

NU Jember & Lakspesdam, Gerak Tertib Organisasi. Laporan Pelatihan Kepemimpinan NU Cabang Jember, Tidak Ditertibkan, Jember, 1987.

Panitia Deklarasi, Menyambut Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, t. pn., Jakarta, 1998.

Pengurus NU Jember, Laporan Konperensi Cabang NU Jember Pada Tanggal 17-18 Oktober 1999, Tidak Diterbitkan, Jember, 1999.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2000.

Radar Jember. Redam gejolak, LKM Tasyakuran 23 Oktober 1999.

Sekjen PBNU, Laporan PBNU Periode 1994-1999 Pada Mukhtamar NU ke 30-21-27 November 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Jakarta, Kramat Raya, 1999.

Shiddiqi, Nourouzzaman, The Role of the ‘Ulama’ During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45), Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1975.

Soebahar, Abdul Halim, Arsitek Pemikiran Islam Indonesia (Catatan Biografi KH. Achmad Siddiq), t. pn., Jember, 2001.

Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, cetakan keempat, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999.

Syafi’i, A., Persaingan Memperebutkan Suara NU, dalam Sahar L. Hassan dkk. (ed). Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Varma, SP., Teori Politik Modern, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Yin, Robert K., Studi Kasus (Desain dan Metode), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

baca lanjut......

POLITIK, MORAL, DAN INTELEKTUAL

POLITIK kini berhubungan dengan kekuasaan. Dalam masa dahulu, apalagi Yunani kuno, politik mencakup semua soal yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk pendidikan dan agama. Dengan terpilihnya bidang-bidang kehidupan di Barat, terutama dengan tumbuhnya pemikiran tentang negara sekuler di satu pihak dan negara agama di pihak lain, politik yang menguasai kehidupan di Barat terpisah dari soal dan ajaran agama. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terpisah dari agama. Sebenarnya, agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Kristen, karena memang pertentangan paham hidup di masa abad pertengahan Eropa itu adalah pertentangan antara akal (reason, rasio) dan gereja, antara raja dan gereja. Baik raja maupun gereja mengenal hirarki kekuasaan. Gereja dengan pendetanya yang berpuncak pada Paus, dan raja dengan menteri dan hulubalangnya. Gereja dan raja itulah yang memperebutkan kekuasaan.Islam, pahamnya berbeda. Dalam prinsipnya ia tidak mengenal hirarki kekuasaan. Bahwa ada kesultanan dan kerajaan dalam sejarah Islam, bukan lah ini berpangkal pada adanya hirarki kekuasaan dalam agama Islam, melainkan karena budaya masyarakatnya memang mengenal hirarki ini. Dalam semua lapisan masyarakat, apakah itu rakyat jelata, pejabat, polisi, tentara, kalangan orang bisnis, orang teknik atau teknologi, pendidikan, universitas, pekerja, petani, nelayan dan sebagainya, Islam menuntut pada pemeluknya untuk menegakkan ajaran Islam dalam diri, Negara, dan masyarakat. Ajaran Islam itu tersimpul dalam kata syariâ??ah.

Maka orang â??alim (dalam Islam) adalah orang yang mempunyai pengetahuan. Tentu di dalamnya tercakup ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan â??umumâ?. Dalam Islam, yang kedua bermuara pada yang pertama, yang disimpulkan oleh Konferensi Islam International I di Makkah tahun 1997 dengan mengatakan bahwa al-â??ulum al-muktasabah (ilmu-ilmu perolehan, seperti bahasa, matematika, ilmu alam, filsafat, sejarah -jadi ilmu-ilmu yang termasuk humanitites, ilmu sosial (seperti sejarah, antropologi, sosiologi, dan ilmu alam). Teknik, industri, hendaklah berpangkal pada al-â??ulum al-naqliyah â?? ilmu-ilmu wahyu (qurâ??an, sunah, tafsir, fiqih, dsb).

Oleh sebab itu kekuasaan pun, menurut Islam harus berpangkal pada ajaran agama, baik moral maupun sikap, kecenderungan dan sifat manusia hendaknya dijabarkan dengan ajaran Islam. Hal seperti ini tidak dapat dikesampingkan dengan akal: yang jahat tetap disebut jahat yang baik tetap baik. Untuk mengambil contoh yang mudah, judi dan maksiat, tidak bisa disandarkan pada akal manusia, karena senantiasa ada saja yang pro dan kontra dalam hubungan ini. Kita mencatat umpamanya bahwa dalam budaya Barat dahulu, kebebasan seks tidak diterima, tetapi dalam masa sekarang, ia bagaikan masuk dalam hak asasi manusia. Dalam Islam kebebasan seperti ini tergolong haram. Perbedaan hal-hal seperti ini mudah kita telusuri dengan memperhatikan kategori yang lima dalam hukum Islam (al-ahkam al-khamsah): wajib sunnah, mubah/jaiz, makruh, dan haram.

Maka kalau pun dikatakan bahwa syariâ??ah itu hukum, namun tidak lah dapat ia samakan dengan hukum seperti yang berkembang di Barat yang banyak mempengaruhi hukum nasional kita. Hukum Barat mengenal hukum privat (pribadi), yang berlaku dengan pengaduan (jadi delik aduan), dan hukum publik (yang berlaku dan ditegakkan lepas dari aduan); sehingga jaksa, polisi -kalau perlu tentara- dapat menegakkannya, dan mengejar orang yang melanggarnya, tanpa aduan seseorang.

Dalam masyarakat Islam seharusnya hal ini berarti bahwa pelanggaran hukum merupakan kekecualian, bukan hal yang biasa. Kita patut menangis melihat keadaan perkembangan negara dan masyarakat kita kini yang mayoritas Islam, bahwa pelanggaran hukum bagaikan sebuah kebiasaan, dan yang patuh hukum merupakan kekecualian. Hukum di negeri kita tidak tegak sama sekali.

Oleh sebab itu perlu sekali masyarakat yang mayoritas Islam ini diajak kembali kepada ajaran pokoknya: Islam atau syariâ??ah dengan pemahaman di atas. Budi pekerti atau moral merupakan hal yang harus ditegakkan dari buaian hingga ke liang kubur. Malah ketika bayi masih dalam rahim ibunya, ajaran Islam perlu ia kenal dengan kebiasaan si ibu dan tingkah lakunya yang unik: senantiasa mengingat Allah, berbuat baik dan menunjukkan kasih, senantiasa beribadah (shalat, puasa, membaca Qurâ??an, memulai sesuatu dengan bismillah, menyudahinya dengan al-hamdulillah ) agar semua tingkah lakunya ini dapat turun kepada anak yang dikandungnya; menjadi anak shalih kemudian.

Inilah tugas mereka yang berada dalam Majelis Mujahidin yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 7 Agustus 2000. Tugas mereka ini berat, tetapi bukankah tiap tugas yang mulia memang berat? Tugas ini hanya berhasil dengan kebersamaan, dengan senantiasa mengingat amanah, disertai ikhlash, jujur, satu kata dengan perbuatan, membela yang lemah, mendahulukan kepentingan bersama, dan tunduk tawadhuâ?? menghadap Allah Swt. Hanya dengan cara-cara ini kita bisa berharap bahwa Indonesia kita ini bisa menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,- negeri yang sejahtera dan diampuni oleh Allah. Amin.

Oleh: Prof. Dr. Deliar Noer
*Anggota Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin bidang politik (Siyasah Syariâ??ah) - dikutip dari Risalah Mujahidin

baca lanjut......