Selasa, 28 April 2009

ETIKA POLITIK DAN KEPENTINGAN RAKYAT

R.P. Borrong
Etika politik bukanlah suatu sistem politik yang berbelit. Secara sederhana,
etika politik dapat diartikan sebagai sejumlah nilai luhur yang seharusnya
diterapkan dalam perilaku politik para politisi. Hans Küng menyebut "etika
politik sebagai kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan pada apa yang baik
atau benar secara abstrak, tetapi pada apa yang baik dan benar dalam situasi
yang konkrit". Banyak keputusan dan kebijakan politik yang tidak memperhatikan
hati nurani karena lebih suka melayani kepentingan sendiri dari pada
kepentingan rakyat yang memberi kekuasaan kepada para penguasa, khususnya
anggota DPR.

Kalau kita mengambil contoh nilai-nilai yang seharusnya ada dalam etika
politik, maka yang utama tentulah kejujuran. Kita bertanya apakah para politisi
kita jujur dalam keputusan yang diambil? Apakah mereka benar-benar
memperjuangkan kepentingan rakyat seperti yang selalu menjadi slogan para
politisi? Kita menjadi ragu ketika melihat kecenderungan seperti yang sekarang
terjadi dalam menghadapi kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah.
Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, impor beras akan menguntungkan para
pengusaha dan elite politik (baca: politisi yang sedang berkuasa). Tentu
sebagai mantan Presiden dan pengamat yang jeli, Abdurrahman Wahid tidak
sembarangan memberikan pendapatnya. Namun lepas dari pendapat tersebut dan juga
pendapat banyak analis lainnya, logika rakyat membenarkan bahwa kebijakan impor
beras adalah suatu kebijakan politis penguasa, yang seharusnya dikritisi dan
ditolak oleh anggota DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya mengutamakan
kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi.

Lakon-lakon yang sedang dimainkan di gedung rakyat, Senayan, dapat dianggap
sebagai suatu permainan sandiwara. Kita tahu di dalam lubuk hati yang paling
dalam bahwa kebijakan impor beras itu memang bertujuan untuk kepentingan bisnis
penguasa berkolaborasi dengan pengusaha.

Nurani para anggota Dewan mestinya terusik dengan kenyataan itu. Namun
kebijakan yang jelas-jelas mengorbankan kepentingan rakyat demi tercapainya
tujuan kepentingan penguasa (tertentu) dan pengusaha (tertentu), se-olah tidak
punya daya mengusik nurani para anggota DPR yang kepentingan konstituennya
sedang dikorbankan!


Harus Beretika

Di bidang politik, Machaiavelli telah memproklamirkan pemisahan politik dan
etika.

Machiavelli menggaris bawahi bahwa etika satu-satunya dalam politik adalah
kebaikan Negara, mempertahankan Negara dengan segala cara dan biaya. Banyak
penguasa yang mengikuti tesis Machiavelli ini (terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi) telah mempraktekkan kekuasaan tanpa nurani, termasuk juga
banyak politisi Indonesia.

Kalau Machiavelli menyebut kepentingan Negara sebagai norma etika politik, maka
Milton Friedman, memproklamirkan "peningkatan keuntungan" sebagai kewajiban
moral para pengusaha. Profit adalah norma dalam kebijakan-kebijakan ekonomi.
Inilah ciri ekonomi liberal, yang diakui atau tidak, sangat kental dalam
berbagai paket kebijakan ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi selalu terarah
pada kepentingan para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan dan bukan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat.

Dalam suatu masyarakat demokratis, mestinya etika menjadi salah satu
pertimbangan, bahkan menjadi pertimbangan utama, dalam kebijakan politik dan
ekonomi. Namun, dalam kenyataannya, kebijakan politik dan ekonomi Indonesia
sangat mengutamakan kepentingan kekuasaan dan keuntungan ekonomi para politisi.
Itu sebabnya rakyat selalu dirugikan dan dikorbankan kepentingannya dalam
kebijakan politik, khususnya kebijakan ekonomi.

Selain kebijakan impor beras, hari-hari ini demam kenaikan TDL (tarif dasar
listrik) menjadi topik yang diperdebatkan masyarakat. Banyak orang menganggap
rencana kenaikan ini tidak masuk akal. Sebagai BUMN yang memonopoli pengelolaan
listrik Negara, mestinya PLN mendapatkan keuntungan. Masalahnya adalah korupsi
di PLN tidak bisa membuat perusahaan yang selalu dianakmaskan pemerintah itu
tidak pernah untung, malah terus merugi.

Sepertinya kenaikan TDL dapat dibenarkan secara etika bisnis karena perusahaan
harus untung. Namun dilihat dari sudut pandang praktik korupsi di tubuh BUMN
itu, tidaklah etis kalau kerugian perusahaan akibat korupsi dibebankan pada
rakyat. Terlebih oleh karena rakyat miskin di Indonesia tidak lagi mampu
membayar biaya pemakaian listrik yang terus naik sementara pendapatan rakyat
terus menurun. Maka yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengatasi
korupsi di tubuh PLN sehingga uang yang dikorupsi dapat dikembalikan menjadi
keuntungan perusahaan.

Kalau kebijakan impor beras dan kenaikan TDL diloloskan oleh DPR maka sungguh
suatu bukti bahwa wakil-wakil rakyat kita tidak lagi punya nurani, tidak
menghormati etika politik dan tidak layak menjadi wakil rakyat. Kalaupun
politik dan ekonomi dipandang punya hukumnya sendiri, setidak-tidaknya, para
pelaku politik dan bisnis harus punya nurani. Politik dan ekonomi seharusnya
dijalankan dengan nurani dan dengan nilai-nilai etika, sehingga mencapai
tujuannya yang luhur yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan
sosial sebagaimana tercantum dalam falsafah Negara yaitu Pancasila dan dalam
konstitusi Negara yaitu UUD 45.

Para pemimpin Negara (eksekutif maupun legislatif) sudah harus sungguh-sungguh
memperhatikan kepentingan rakyat, ya kepentingan bangsa dan Negara, kalau tidak
ingin Negara ini hancur lebur karena kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Bencana-bencana yang akhir-akhir ini terus menghantam Negara ini juga tidak
dapat dilepskan dari salah urus Negara akibat hilangnya nurani para pemimpin.
Kita mengharapkan para pengurus Negara ini sadar, sebelum terlambat, untuk
merenungkan kembali hakekat kekuasaan rakyat yang dipercayakan di atas pundak
mereka.

Artinya kita menunggu keputusan DPR dengan tegas menolak kebijakan impor beras,
kebijakan kenaikan TDL dan kebijakan lain yang tidak melayani kepentingan
rakyat tetapi yang melayani kepentingan segelintir pengusaha dan penguasa yang
haus kekayaan dan kuasa. Rakyat dan alam, pasti akan bangkit membalas semua
kebijakan yang menindas mereka. Hari ini bencana alam, besok atau lusa, bencana
sosial. Semoga nurani para wakil rakyat dihidupkan bersama tahun baru Imlek
yang kita rayakan hari ini! Gong Xi Fa Cai! *


Penulis adalah Ketua STT Jakarta


0 komentar: